RROL.ID, Jakarta – Greenpeace Minta Bahlil, Raja Juli, dan Hanif Dipecat Dari Kabinet, karena dianggap tidak memiliki kinerja dan tindakan hingga sebabkan banjir bandang di Sumatera Utara.
Awalnya Menko Muhaimin Iskandar muncul dengan dakwah instan, memohon agar Bahlil, Raja Juli, dan Hanif Faisol melakukan tobat nasuha. Permintaan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh para kader Golkar seperti menolak SPAM pinjol. Mereka bilang, “Taubat? Silakan. Tapi itu hanya berlaku kalau presiden yang ngomong.”
Bahlil menegaskan, “Yang bisa perintah saya, Pak Presiden Prabowo. Saya fokus menjalankan urusan rakyat dan apa yang diperintahkan oleh Bapak Presiden.” Lalu, katanya lagi, “Kalau pertaubatan nasuha, Cak Imin juga pertaubatan nasuha lah. Semuanya ya. Semua kita harus evaluasi diri.”
Namun belum sempat ustaz kondisional itu menutup pengajian kilat, muncul sekuel yang lebih brutal, Greenpeace datang, bukan bawa ceramah, tapi bawa tuntutan pemecatan. Tidak ada SP1, SP2, SP3. Langsung SP–Say goodbye Pak Menteri.
Kenapa? Karena yang terjadi di Sumatera bukan “bencana alam”. Tidak. Itu istilah lama. Ketinggalan zaman. Istilah itu sudah pensiun. Yang terjadi adalah Bencana Tanda Tangan, bencana yang terjadi bukan karena angin mutung, bukan karena hujan cemburu, bukan karena bumi PMS, tapi karena ada tanda tangan manusia yang terlalu mudah meluncur ke atas kertas izin tambang, izin tebangan, izin bukaan lahan, semua izin yang bunyinya sama, “silakan rusak pelan-pelan, nanti kita cari alasan.”
Di Aceh, Sumut, dan Sumbar, 836 jiwa meninggal, 518 hilang, 2.700 luka-luka, sementara ratusan ribu warga terdampak. Banjir bandang itu membawa gelondongan kayu raksasa yang entah kenapa bentuknya rapi seperti baru keluar dari showroom. Kementerian Kehutanan bilang itu kayu lapuk. Publik menatap lantai sambil menahan tawa, “Lapuk kok presisi? Lapuk kok simetris? Lapuk kok bekas gergajian mesin?”
Kalau ini bukan Bencana Tanda Tangan, apa lagi namanya?
Koordinator Kampanye Greenpeace, Iqbal Damanik (bukan yang biasa bertengkar dengan Roy Suryo ya), muncul di YouTube dengan wajah yang sudah berada di level “capek ngomel sejak 2010”. Ia berkata, “Greenpeace sudah mengingatkan sejak lama… tapi ya tidak didengarkan.” Aktivis lingkungan memberi peringatan seperti alarm. Bedanya, alarm bisa dimatikan. Aktivis tidak bisa, tapi pemerintah berusaha semampunya.
Iqbal menegaskan ini bukan takdir. Ini hasil kombinasi tanda tangan, surat izin, dan pengabaian. Di Batang Toru sana, bukaan lahan gara-gara tambang dan PLTA membuat bukit berubah jadi seluncuran air raksasa. Hujan deras datang, air meluncur, kayu ikut, rumah hanyut. Lengkap. Seluruh koreografi Bencana Tanda Tangan tampil sempurna.
Greenpeace tidak butuh metafora rumit untuk menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Mereka sebut saja tiga nama bak pengumuman juara lomba karaoke, Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan, penjaga hutan yang hutannya kabur duluan. Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, penerbit izin tambang yang mungkin lebih gesit dari admin e-commerce. Hanif Faisol, Menteri Lingkungan Hidup, penjaga AMDAL yang filternya sudah bocor sebesar sumur bor.
Iqbal bilang fungsi pengawasan tidak berjalan. Penegak hukum tidak sigap. Kayu hasil gergajian tidak mungkin langsung hilang dalam semalam. Artinya ada pembiaran. Ada tutup mata. Ada tanda tangan yang tidak seharusnya jatuh.
Di lapangan, Basarnas, TNI, dan Polri masih berjibaku di lumpur setinggi gengsi pejabat yang tidak mau salah. Banyak daerah terisolasi. Logistik hanya bisa dikirim dari udara. Warga menunggu sambil bertanya, “Ini bencana apa? Siapa yang mengurus sampai jadi begini?”
Jawabannya sederhana, ini Bencana Tanda Tangan, dan penandatangan-penandatangan itu harus bertanggung jawab. Karena itu ketika Greenpeace bilang “pecat mereka”, publik mengangguk. Bahkan yang biasanya cerewet pun diam. Di tengah segala keabsurdan ini, suara rakyat tiba-tiba sangat sederhana, tobat itu urusan Tuhan. Pertanggungjawaban itu urusan negara. Ketiganya harus memilih sisi mana yang mereka berani hadapi.
Sumber : Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar


