RumahRakyatOnline.id, Jakarta-Barang kali masih banyak yang mengingat istilah atau ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain, diartikan juga manusia sering menikam sesama manusia lainnya).
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Plautus pada tahun 1945. Ungkapan ini kemudian dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Artinya Siapa pun bisa menjadi musuh.
Istilah Homo-homini lupus ini jelas menggambarkan peristiwa kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (ajudan mantan Kepala Divisi/Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo).
Tentu ini bukan tanpa alasan karena pembunuhan Brigadir J dilakukan secara biadab, brutal, kejam, sadia, dan mengerikan di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo (FS), Komplesk Polrai, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat (8/7/2022) Memang hal ini menjadi pertanyaan mengapa hal seperti itu terjadi di era peradaban saat ini?
Karena itulah dalam momen hari Kemerdekaan RI yang ke 77 ini, Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) mengajak semua elemen bangsa khususnya aparat kepolisian agar kasus Pembunuhan Brigadir J ini sebagai pembelajaran bagi kita bersama supaya tidak melakukan kekerasan apalagi penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa sesama manusia.
Ini sangat penting untuk penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Artinya dalam hal ini kita diajak agar meninggalkan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) menjadi Homo Sacius Socius yang berarti manusia adalah teman/sahabat bagi sesama manusianya, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya.
Tinggalkan Budaya Kekerasan Kesewenangan di Kepolisian deki HAM
Faktanya kasus pembunuhan Brigadir Yosua ini pelakunya yang saat ini statusnya sebagai tersangka ada (3) orang anggota polri aktif dan 1 orang adalah warga biasa yang merupakan sopir pribadi Putri Candrawathi istri Ferdy Sambo, bahkan salah seorang tersangka adalah pejabat tinggi Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal, Jenderal Bintang 2.
Ini menunjukkan hal ironi karena pelakunya adalah perangkat negara (alat negara) yang seharusnya berkewajiban melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM)
Karena itu dalam momen Hari Kemerdekaan RI ke-77 ini, seharusnya menjadi evaluasi dan refleksi di tubuh Polri sendiri, sebab faktanya kepolisian sering mempraktekkan kekerasan dan kesewenang-wenangan dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Diantaranya pada saat menghadapi aksi rakyat dalam menyampaikan pendapat, melakukan kekerasan termasuk penyiksaan kepada warga yang dimintai keterangan terkait penganan kasus di kepolisian, kekerasan dan kriminalisiasi kepada petani dan masyaraat adat yang mempertahankan haknya yang berkonflik dengan perusahaan, dan kekerasan yang lain yang dilakukan oleh kepolisian kepada warga.
Praktek kekerasan yang sering dilakukan kepolisian sudah saatnya dihindari dan ditinggalkan demi pemajuan Hak Asasi Manusia, sebab aparat kepolisian sebagai perangkat negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak asasi setiap warga negara.
Meninggalkan budaya kekerasan di tubuh polri sebagai upaya meninggalkan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) menjadi Homo Sacius Homo Homini Socius yang berarti manusia adalah teman/sahabat bagi sesama manusia. Ini hal penting untuk reformasi Polri.
Pemenuhan Hak Atas Keadilan di Tengah Penanganan Kasus Pembunuhan Brigarir Yosua
Kenyataannya penanganan kasus pembunuhan Brigadir Yosua ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Ini menunjukkan buruknya penanganan kasus ini sehingga mengakibatkan sulitnya keluarga korban dan publik mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan UUD 1945 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Realitanya, desakan publik sangat punya pengaruh yang besar agar kepolisian menuntasakan kasus ini. Karena itulah kasus ini mengalamai kemajuan dengan ditetapkannya tersangka termasuk menetapkan dalang (aktor intelektual) sebagai tersangka.
Seandainya tidak ada desakan dan tekanan publik, dikhwatirkan penanganan kasus ini akan terus mengalamai kemandekan.
Kordinator Tampak Roberth Keytimu, S.H, Rabu (27/8/2022) mengatakan komunitas ini digagas oleh para advokat guna memberikan dukungan pengungkapan kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (ajudan mantan Kepala Divisi Profesidan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Ferdy Sambo) secara profesional, transparan dan akuntabilitas. Kepedulian sejumlah advokat atas kasus ini karena Advokat adalah bagian integral dari konsepsi catur wangsa penegak hukum. Katanya.
Maka dengan itu, Tampak mengadakan upacara Bendera memperingati hari Kemerdekaan RI ke 77 di Halaman Parkir Gedung YARNATI, Jalan Proklamasi Nomor 44, Menteng, Jakarta Pusat.
Dengan harapan melalui penyelenggaraan upacara HUT RI ke -77, merefleksikan penghayatan atas penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia dan HAM dengan menghindari dan meninggalkan kekerasan termasuk penyiksaan dan kesewenangan /penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kepolisian.
Tujuannya adalah supaya kemerdekaan yang hakiki terwujud sebagaimana amanat proklamasi kemerdekaan RI.
Secara khusus refleksi hari kemerdekaan ini mengingatkan kepolisian agar segera menuntaskan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat untuk memenuhi Hak Asasi keluarga korban sebagai warga negara di negara yang berdasarkan hukum, yaitu hak untuk tau latar belakang yang menyebabkan kematian korban, hak atas persamaan di hadapan hukum, hak atas kepastian hukum, dan hak memperoleh keadilan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham. akhirinya.
Reporter : cheker