RumahRakyatOnline.id, Sumatera Utara – Danau Toba merupakan danau terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Sumatera Utara mencakup tujuh kabupaten yakni Kabupaten Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, Karo, Dairi. Luas Danau Toba sekitar 1.130 Kilometer persegi dengan panjang hampir 100 kilometer, lebar 30 kilometer, dan titik terdalam 505 meter.
Tahun 80-an, Danau Toba begitu tersohor hingga ke mancanegara karena keindahan alamnya. Banyak turis-turis mancanegara yang datang hanya ingin menikmati alam Danau Toba. Namun setelah terjadi krisis moneter 1998, wisata Danau Toba mulai meredup bak mati suri. Baik aspek lingkungan maupun sosial budaya berubah. Danau yang menjadi ikon Sumatera Utara ini kini telah dipenuhi kerambah, entah itu milik warga ataupun milik perusahaan. Sungai-sungai yang mengalir dari hutan yang ada di hulu Danau Toba juga mengering di musim kemarau, dan meluap di musim hujan. Longsor dan banjir bandang menjadi ancaman yang mengintai kehidupan masyarakat yang ada di kaki bukit. Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar danau seolah tak lagi menjanjikan. Diibaratkan Danau Toba kini menjadi kubangan sampah dan limbah.
Tak sedikit pemerhati dan pegiat lingkungan yang perduli dengan Danau Toba menuduh bahwa berbagai kebijakan pembangunan yang diterapkan di kawasan Danau Toba menjadi akar penyebab kerusakannya. Kerusakan ekologi Danau Toba sudah dua dekade lebih menjadi topik hangat diskusi-diskusi di kalangan pegiat lingkungan dan elite politik di Sumatera Utara bahkan Nasional. Seiring dengan semakin banyaknya wacana terkait pelestarian kawasan Danau Toba semakin berkembang pula izin-izin industri di kawasan Danau Toba, mulai dari sektor kehutanan, sektor pertanian, peternakan dan perikanan, dan sektor wisata.
Untuk memacu laju wisatawan masuk ke kawasan Danau Toba pemerintah menjadikan Danau Toba menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Berbagai kebijakanpun dilahirkan, salah satunya menjadikan Kawasan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Selanjutnya berbagai produk hukum atau peraturan perundang-undanganpun disahkan, seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2010- 2025. Ada 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang ditetapkan. Dari 88 lokasi tersebut, 10 lokasi prioritas utama, salah satunya Danau Toba.
Selain PP Nomor 50 Tahun 2011, ada Peraturan Presiden No. 81 tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Perpres ini berperan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di Kawasan Danau Toba untuk meningkatkan kualitas lingkungan, sosial budaya, dan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya ada Perpres No. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba. Dimana badan ini tugasnya untuk mempercepat pengembangan dan pembangunan kawasan pariwisata danau toba.
Lahirnya berbagai kebijakan tersebut diharapkan mampu memperbaiki kerusakan lingkungan dan ekologi di kawasan danau toba serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan malah justru memperparah keadaan yang sudah ada dan menjauhkan masyarakat Danau Toba sendiri dari ruang hidupnya dan sumber ekonominya.
Oleh karena itu, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) dalam kurun 3 tahun ini fokus ke isu Kerusakan Lingkungan dan ekologi di Kawasan Danau Toba. Isu ini diangkat karena secara umum wilayah pendampingan 7 (tujuh) lembaga yang tergabung dalam JAMSU yakni BAKUMSU, KSPPM, YDPK, Petrasa, YAK, YAPIDI dan BITRA berada di sekitaran kawasan danau toba.
Sumber : Bakumsu
Editor : Julius Sitanggang