Wacana penundaan Pemilu tidak bisa di paksakan segelintir Elit Politik dan Kekuasaan

Terkait

RumahRakyatOnline.id, Jakarta – Wacana penundaan pemilu adalah hal sangat strategis dan mendasar bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Sehingga isu penundaan pemilu tidak bisa dipaksakan oleh segelintir elit politik dan elit kekuasaan.

Mantan aktifis 1998 dari Organisasi Gerakan Front Pemuda Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) saat ini menjadi legislator di DPR RI melalui Partai PDI-P Masinton Pasaribu menyebutkan seluruh elemen bangsa harus didengarkan sikap dan pandangannya terkait wacana maupun isu penundaan pemilu.

“Penundaan pemilu tidak bisa atas kehendak sekelompok elit politik dan kekuasaan. Harus dapat dijelaskan urgensi kepentingan dan kemanfaatan besar bagi negara dan bangsa kita jika menunda pemilu, apakah perang, krisis ekonomi atau bencana dan lainnya,” kata Masinton.Minggu (6/3/2022).

Ia mengatakan penundaan pemilu harus melalui konsensus bersama seluruh elemen bangsa.

“Jika konsensus dan musyawarah tidak tercapai. Elit politik dan kekuasaan jangan memaksakan. Biayanya terlalu mahal bagi kesinambungan negara dan bangsa Indonesia,” ucapnya tegas.

Dijelaskan Masinton bahwa urgensi dan problematika penundaan pemilu haruslah dari berbagai spektrum sudut pandang bukan hanya aspek politik dan ketatanegaraan.

Namun juga aspek lainnya seperti sosial, ekonomi dan lain-lainnya karena ini menyangkut stabilitas bernegara dan berdemokrasi.

Ia memaparkan Indonesia pernah memiliki dua preseden ketatanegaraan menunda dan mempercepat pemilu. Yang pertama, tahun 1967 Soeharto sebagai pengemban Supersemar dengan dalih situasi kedaruratan dan stabilitas ekonomi saat itu menyelenggarakan sidang MPRS tahun 1967 mengeluarkan Ketetapan (TAP MPRS) menunda pelaksanaan pemilu yang seharusnya diselenggarakan tahun 1968 menjadi tahun 1971. Meskipun saat itu keanggotaan MPRS adalah hasil pengangkatan rekayasa awal rezim orde baru.

“Preseden ketatanegaraan tersebut melahirkan kekuasaan absolut dan otoriter berkuasa selama 32 tahun dengan mengabaikan demokrasi dan kedaulatan rakyat,” paparnya.

Preseden kedua adalah saat terjadi krisis ekonomi dan politik yang melahirkan gerakan reformasi dan demokrasi berhasil memaksa mundur Presiden Soeharto 21 Mei 1998, yang sudah tidak dipercaya rakyat dan seharusnya berakhir dalam periode 1997-2002.

Siklus Pelaksanaan pemilu saat itu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002. Oleh desakan kesepakatan seluruh elemen bangsa melalui gerakan reformasi dan demokrasi memaksa MPR mengeluarkan TAP MPR tahun 1998, memajukan pelaksanaan Pemilu menjadi bulan Juni tahun 1999.

“Preseden yang kedua pada tahun 1998 ini, yang memajukan pemilu menjadi tahun 1999, berhasil menegakkan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta membatasi lahirnya kekuasaan absolut,” katanya.

Sumber : Pena ’98

spot_img

Terkini

Related Articles

Lewat ke baris perkakas